Jawa Barat,Liputan-6plus.com
Bumi Pasundan yang seolah dilukis langsung oleh tangan estetika semesta, menyimpan panorama alam yang bisa membuat iri Swiss dan Selandia Baru. Dari hamparan kebun teh di Puncak, danau purba Situ Patenggang yang sarat mitos, hingga keanggunan pantai-pantai di Pangandaran, semuanya seperti puisi alam yang belum sempat dibacakan dunia.
Namun ironinya, keindahan ini terpenjara dalam bingkai lokalitas yang stagnan dan belum menjelma menjadi magnet pariwisata global. Alam telah memberi begitu murah hati, tetapi dibalas dengan ketidakcakapan, korupsi birokrasi, dan ketiadaan visi jangka panjang.
Potensi yang Tak Tersentuh
Data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat (2023) menyebutkan lebih dari 800 objek wisata potensial, namun hanya sekitar 20 persen yang tergolong layak jual secara internasional. Bandingkan dengan Bali yang lebih kecil secara geografis, namun mampu menarik 5,3 juta wisatawan mancanegara sebelum pandemi.
Sementara Jawa Barat, yang berbatasan langsung dengan ibu kota negara, hanya dikunjungi sekitar 600 ribu wisatawan asing setiap tahun. Ini bukan semata masalah promosi, tapi juga mentalitas, struktur kelembagaan, dan keberanian membangun identitas budaya serta infrastruktur berkelas dunia.
Infrastruktur Setengah Hati, Promosi Asal Jadi
Jawa Barat tampak puas menjadi destinasi akhir pekan warga Jabodetabek. Infrastruktur ke destinasi seperti Geopark Ciletuh atau Kawah Putih belum memadai. Promosi pun bersifat seremonial, tanpa kontinuitas. Situs resmi pariwisata daerah kerap tak terurus. Bandingkan dengan VisitScotland atau Tourism Australia yang mengemas pengalaman digital menggoda imajinasi.
Birokrasi Feodal, Investasi Terhambat
Banyak investor pariwisata memilih mundur karena birokrasi berbelit, regulasi tumpang tindih, hingga pungutan liar. Di saat daerah lain menyambut investasi dengan karpet merah, Jawa Barat menyodorkan karpet berduri.
Spirit Sunda yang Terlupakan
Nilai-nilai seperti silih asah, silih asih, silih asuh yang begitu kuat secara filosofis, nyaris tak diberi ruang dalam narasi pariwisata. Ekowisata berbasis komunitas belum dikembangkan serius, padahal ini selaras dengan tren global: pariwisata berkelanjutan yang menyatu dengan masyarakat dan alam.
Menuju Paradigma Baru
Pertanyaannya: sampai kapan Jawa Barat puas menjadi catatan kaki dalam peta pariwisata nasional dan dunia? Apakah para pemimpin daerah menyadari bahwa pariwisata bukan sekadar ekonomi, tetapi juga diplomasi budaya dan pencipta identitas?
Dalam dunia yang semakin haus akan keaslian dan keindahan yang menyembuhkan, Jawa Barat semestinya berada di panggung utama. Namun selama wisata didekati sebagai proyek, bukan paradigma selama promosi hanya jadi agenda tahunan tanpa strategi konten global dan selama politisi lebih sibuk membangun citra ketimbang infrastruktur maka Jawa Barat akan tetap menjadi ironi lukisan indah yang disimpan dalam gudang gelap.
Oleh MJ.Wijaya